Saturday, November 28, 2009

09 Dzulhijjah 1430

Suasana pagi ini sungguh menyejukkan hati. Panasnya yang hangat menyambut erat setiap umat yang merayakan Hari Ied. Semua makhluk mengagung-agungkan semua keagungan-Nya. Nampak jelas keceriaan yang terpancar dari wajah muslim. Mereka berbondong-bondong menuju masjid dan tanah lapang untuk menunjukkan kesuka citaan di mana sebagian dari mereka akan mengorbankan apa yang dicintainya dalam bentuk hewan.

Selepas sholat ied, aku bergegas mengikuti selamatan di rumah tetangga. Ternyata banyak tetangga yang sudah duduk bersila. Tak lama kemudian acarapun dimulai. Semua jamaah mengikuti dengan hikmat hingga akhir. Kami berpamitan dengan rasa senang telah dijamu dengan hidangan yang istimewa.

Tidak seperti Hari Raya Iedul Fitri di mana hampir semua teman saling mengucapkan selamat dan meminta maaf. Saya cukup senang masih ada teman yang mau berbagi ucapan. Di anatar mereka ada yang bertanya tentang asmaraku dan menganjurkan untuk segera menikah. Aku pun terperanjat membacanya. Dengan spontan aku membalas dengan maksud meminta bantuan do’a agar aku diberi kekuatan dan keberanian untuk mengutarakan isi hati yang sekian lama mati suri. Di lain sisi ada beberapa teman yang mengabarkan mereka akan segera menikah. Aku berpikir sejenak untuk menghela nafas agar sesak di dadaku dapat sediki berkurang.

Untuk mengalihkan kejenuhan yang menumpuk di dalam benak. Aku pergi ke suatu tempat dan berbincang ringan bersama seorang teman. Hingga ku rasa jenuh telah penuh menumpuk di punuk sampai tengkuk, aku pergi berenang di sungai. Seakan-akan semua beban di pundak dan debu-debu kelu yang menempel seolah telah luntur diguyur air sumur.

Pada siang hari aku tak kuat menahan kantuk. Walaupun di atas sofa aku bisa terlelap bagaikan disulap. Dalam tidurku aku bermimpi bertemu teman-teman di suatu desa. Dalam perjalanan kami bertemu razia polisi. Teman-temanku dengan santai menunjukkan Surat Ijin Mengemudi (SIM) kepada pak polisi. Aku teringat bahwa aku tidak memiliki SIM. Aku pun menerobos di sebelah kanan jalan. Aku kira polisi membututi di belakang dengan kencang. Tak lama aku terbangun dari tidur dan segera mandi.

Aku membulatkan tekad dan mengkotakkan i’tikad untuk melangkah menuju rumahnya untuk menyampaikan maksud untuk memilikinya. Setibanya di sana aku bertemu seorang gadis. Aku memulai pembicaraan dengan salam ringan. Ia pun menjawab dengan sederhana dan bertanya ada perlu apa. Aku jawab dengan sedikit malu karena aku sedang menahan tawa dan kecewa. Aku bersikeras ingin bertemu ibunya. Dia berkata “Ibu lagi mandi, silahkan masuk.” Perlahan-lahan dengan sedikit membungkuk aku masuk. Dia pun duduk di hadapanku dan bertanya seakan-akan aku mempunyai informasi yang penting untuk diintrogasi. Aku jelaskan bahwa aku teman adiknya sejak Tsanawiyah. Dia menyunggingkan pipinya pertanda dia tahu niat dan tujuanku datang ke sana. Setelah cukup berbincang-bincang dan ibunya usai mandi, ia pun masuk ke dalam ruang keluarga. Aku mendengar gelegar tawa mereka berdua yang menyambar telingaku. I don’t care.

Ibunya pun menyibak tirai dan menatapku cukup dalam. Beliau mengambil posisi duduk di sebelah kiriku berjarak satu setengah meter. Aku cukup canggung menghadapi manusia seusia itu. Pelan namun pasti aku mulai pembicaraan dengan tersendat-sendat. Seiring waktu aku bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri. Pembicaraan itu sempat beku ketika aku malu untuk mengatakan bahwa aku suka dan serius dengan anaknya. Hatiku berdebar ketika mendengar ibunya mengutarakan pandangannya. Setelah sekian menit bicara akhirnya ibunya menerimaku namun ibunya menyerahkan kepada anaknya. Lalu aku menjelaskan bahwa dia menerimaku tapi dia memiliki kendala yaitu dua saudara tuanya belum menikah. Ibunya mulai menjelaskan adat istiadat yang berlaku. Aku seperti di-skak dengan penjelasan itu. Pepatah mengatakan “Banyak jalan menuju Roma.” Aku memelas dan berkata “Apa ga ada solusi atau alternative lain, bu?” Ibu itu memberikan contoh seorang kakak yang didahului adiknya menikah dan hingga adiknya memiliki anak dua. Aku seperti menemui jalan buntu. Dengan adanya komunikasi yang baik ibu itu pun mengambil contoh-contoh yang berbeda dengan contoh pertama. Aku bisa bernafas lega. Kemudian dipanggillah kakaknya itu dan ditanyai bagaimana dengan keadaan ini. Kakak itu terlihat tersenyum menahan tawa ketika melihatku. Seolah dia pegang kartu kendali. Dalam hatiku berkata “Matilah aku kalau dia mengatakan tidak.” Allahu Akbar… di hari yang baik dengan niat baik diterima dengan baik.

Syukron katsir teman-teman…

Muhammad Rifai © 2008 Por *Templates para Você*